Tahun 1983, saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar. Paman
saya datang menjemput ke sekolah dan langsung membawa saya beserta
abang dan adik-adik ke Jakarta. Sampai di rumah kakek, lautan manusia
menyesaki halaman rumah hingga ke dalam. Bendera kuning terpasang di
depan rumah, kakek menghadap Allah hari itu.
Ibu, dan semua anak-anak kakek menangis. Namun nampak terlihat jelas
seulas senyum manis dan wajah bersih berseri seolah tampak cahaya yang memancar dari wajah sosok yang ditangisi ratusan orang yang datang hari itu. Tidak ketinggalan anak-anak yatim yang selama ini mendapat santunan dari kakek pun meneteskan air matanya. Bagi mereka kakek adalah Ayah yang selama ini menggantikan peran Ayah mereka yang sejak lama meninggalkan mereka.
Kenangan dua puluh dua tahun yang lalu itu masih sangat jelas terekam di ingatan saya. Betapa saya yang saat itu juga ikut menangis, meski mungkin saya hanya merasa kehilangan seseorang yang takkan lagi mengajak saya makan roti tawar di minggu pagi, atau membelah-belah tahu cina kesukaan kakek dan kemudian ia menyuapi cucunya satu
persatu, memandangi senyumnya dengan binar bahagia. Masih jelas hingga detik ini senyum indah kakek, bahkan teramat detil hingga seandainya saya mampu melukis mungkin saya akan melukiskannya dengan sangat baik.
Tahun 1992, kakek saya dari Ayah meninggal dunia. Ia adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani, ia sangat ramah dan akrab dengan warga, dan seperti namanya, Abdul Karim, ia dianggap sebagai bapak yang mulia bagi sebagian warga. Benar, karena hampir seluruh warga mengenalnya sebagai orang baik, dermawan. Hingga kini, peninggalannya berupa wakaf tanah untuk masjid masih menjadi ingatan yang jelas akan amal baiknya. Masjidnya pun diberi nama masjid Al Karim. Seperti juga kakek saya sebelumnya, ia menutup matanya dengan indahnya senyuman.
Dari nasihat yang pernah saya dengar, Allah kerap menunjukkan kekuasaan-Nya kepada makhluk yang masih hidup melalui orang-orang yang meninggal. Apakah kebaikan yang diperlihatkan ataukah sisa-sisa perbuatan buruk seseorang yang nampak pada saat sakaratul maut dan sesudahnya. Seperti cerita Al Qomah yang sulit meninggal karena perlakuannya terhadap ibunya, mungkin akan jadi pelajaran bagi orang-orang yang melihatnya. Dan senyuman yang menghiasi orang-orang yang meninggal, juga merupakan kekuasaan Allah yang hendak memperlihatkan akhir dari orang-orang yang senantiasa menjaga dirinya dengan amal shalih.
Sungguh, saat ini saya sering menangis jika menghitung-hitung betapa miskinnya diri ini akan amal shalih. Selaut air mata siap tumpah tatkala mengingat segunung khilaf dan dosa yang kerap tercipta bahkan hingga detik ini. Jika demikian, adakah kemungkinan diri ini mengakhiri perjalanan ini dengan senyuman? Mungkinkah saya menutup mata dengan indah? Adakah orang-orang kan membincangkan kebaikan atau keburukan saya sepeninggal saya?
Ya Allah, izinkan hamba menutup mata dengan senyuman.
No comments:
Post a Comment