Sunday, 27 November 2016

Batas Waktu Penyembelihan Qurban Idhul Adha

Batas Waktu Penyembelihan Qurban Idhul Adha


Batas Waktu Penyembelihan Qurban Idhul AdhaSetelah kita memahamai Hikmah Qurban dan Keutamaan Qurban Idul Adha, kita juga perlu tahu Batas waktu penyembelihan Qurban Idhul Adha karena Menyembelih hewan qurban adalah merupakan ibadah ritual, bukan semata-mata mengupayakan mendapatkan bahan pangan. Kalau kita bicara tentang konsep ibadah ritual, maka ada tata cara aturan yang bersifat sakral, yang ditetapkan oleh Asy-Syari’ yaitu Allah SWT sebagai Tuhan yang menetapkan ketentuan syariah.
Salah satu bentuk ritual dalam penyembelihan hewan udhiyah adalah waktu pelaksanaan yang tentunya telah diatur oleh Allah SWT hanya pada waktu tertentu. Alhasil, bila dilakukan pada waktu yang sesuai dengan ketetapan Allah SWT, maka sembelihan itu hukumnya sah dan diterima di sisi-Nya.
Sebaliknya, bila penyembelihan itu dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT, hukumnya tidak sah dan tidak diterima di sisi Allah SWT, serta tidak bisa dijadikan ibadah qurban.
A. Batas Waktu Mulai
Umumnya para ulama menyebutkan batas waktu untuk mulai melakukan penyembelihan hewan udhiyah adalah setelah ditunaikannya shalat Idul Adha dan khutbahnya.
Namun ada pendapat yang menyebutkan bahwa asalkan shalat sudah ditunaikan, tidak perlu menunggu selesainya khutbah pun dibolehkan, karena khutbah itu bukan bagian rukun shalat. Dan buat penduduk badiyah yang tidak mengerjakan shalat Idul Adha, mereka sudah boleh menyembelih sejak terbit fajar.
  1. Setelah Shalat dan Khutbah
Batas awal dimulainya penyembelihan udhiyah adalah sesudah shalat Iedul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dasarnya adalah hadits berikut ini:
Dari Al-Barra bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Awal pekerjaan kita di hari ini (‘Iedul Adha) adalah shalat kemudian pulang dan menyembelih hewan. Siapa yang melakukannya seperti itu maka sudah sesuai dengan sunnah kami dan siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka menjadi daging yang diberikan kepada keluarganya bukan termasuk ibadah ritual. (HR. Bukhari dan Muslim).
Abu Bardah ra berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah pada hari Nahr: “Orang yang shalat sebagaimana shalat kami dan menghadap kiblat kami dan menyembelih sembelihan kami, maka janganlah menyembelih hingga setelah shalat”. (HR. An-Nasai dan Ibnu Hibban).
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menyembelih sebelum shalat (‘Ied), maka dia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan siapa yang menyembelih setelah shalat dan dua khutbah, maka dia telah menyempurnakan sembelihannya dan sesuai dengan sunnah muslimin”. (HR. Bukhari dan Muslim).
  1. Setelah Shalat Sebelum Khutbah
Dalam mazhab Al-Hanafiyah ada kebolehan untuk menyembelih hewan udhiyah seusai menjalankan shalat Iedul Adha, meski pun sebelum disampaikannya khutbah.
Sedangkan mereka yang tinggal di padang pasir, dimana tidak disyariatkan untuk mengerjakan shalat Ied, dibolehkan untuk menyembelih begitu matahari terbit.
B. Batas Waktu Terakhir
Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama terkait dengan batas waktu dibolehkannya menyembelih hewan udhiyah. Sebagian menyebutkan bahwa menyembelih itu berlaku sejak Hari Raya Idul Adha dan hari-hari Tasyrik. Namun sebagiannya lagi menyebutkan bahwa hanya tanggal 10 hingga 12 Dzulhijjah saja.
  1. Terbenam Matahari di Hari Tasyrik Ketiga
Mazhab Asy-syafi’iyah menetapkan bahwa masa berlaku disyariatkannya penyembelihan udhiyah ini berlangsung selama hari empat hari lamanya, yaitu sejak tanggal selesai Shalat Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah hingga tanggal menjelang masuk waktu maghrib pada tanggal 13 Dzulhijjah.
Durasi masa penyembelihan selama empat hari ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Al-Abbas radhiyallahu anhuma. Juga didukung oleh pendapat lain dari mazhab Al-Hanabilah, Atha’, Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Jubair bin Muth’im, Al-Asadi, Makhul dan juga merupakan pendapat Ibnu Taimiyah.
Dasarnya adalah hadits berikut:
كُل أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Semua hari tasyrik adalah waktu untuk menyembelih”. (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad).
  1. Terbenam Matahari di Hari Tasyrik Kedua
Pendapat ini menyebutkan bahwa masa penyembelihan hewan udhiyah hanya berlaku selama tiga hari saja, yaitu tanggal 10, 11 dan 12 bulan Dzulhijjah. Batas akhirnya sampai terbenamnya matahari pada tanggal 12 Dzulhijjah itu. Begitu masuk waktu Maghrib, tanggal sudah berubah menjadi tanggal 13 Dzulhijjah, maka sudah dianggap tidak lagi berlaku.
Yang pendapatnya seperti ini antara lain adalah mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah.
Dasarnya adalah kabar yang diterima dari beberapa shahabat, bahwa waktu untuk menyembelih hewan udhiyah adalah tiga hari. Di antaranya Umar, Ali, Abu Hurairah, Anas, Ibnu Abbas, Ibnu Umar ridhwanullahi’alaihim.

Islam Tak Menyukai Orang yang Meminta-minta

Islam Tak Menyukai Orang yang Meminta-minta


Islam Tak Menyukai Orang yang Meminta-mintaAda istilah “Tangan diatas, lebih baik dari pada tangan dibawah.” Sering kali kita mendapati pepatah seperti itu. Secara kasat mata orang yang diposisikan sebagai “tangan diatas” adalah pemberi, sedang “tangan dibawah” sering dikonotasikan sebagai penerima atau peminta-minta. Secara filosofi seorang yang senantiasa tangannya dibawah, selalu berada pada posisi “low”, yakni dasar, bawah, miskin dan tak punya.
Meski tak dipungkiri di negeri ini ada banyak orang yang profesi menjadi seorang pengemis. Meminta-minta belas kasihan kepada setiap orang dijumpainya, menjual wajah iba, dengan sebentuk rupa; baju compang-camping, dekil, seolah dirundung sakit, perlihatkan cacat tubuh, atau menggendong anak kecil yang entah anak sewaan atau anak sendiri.
Rasulullah saw memang sangat peduli dan sayang  kepada kaum papa, fakir miskin. Anjuran kita untuk memberi sedekah kepada mereka sering kita dengar. Namun bukan berarti Islam menyenangi mengemis itu sebagai suatu profesi. Islam menginginkan setiap orang berusaha untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Dan soal hasil, sedikit banyak, asal barokah itu lebih utama. Dan bagi orang yang telah berusaha, namun belum mendapatkan hasil yang maksimal, hingga dalam taraf masih kekurangan, mereka itulah yang layak dibantu.
Dalam kitab sunan, Imam Abu Dawud dan al-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Anas ibn Malik dikisahkan suatu ketika, seorang lelaki dari kalangan Anshar yang miskin mendatangi Rasulullah saw untuk meminta sesuatu. Rasul mengernyitkan dahi.
“Barang apa yang masih ada di rumahmu?” Tanya Rasullulah.
“Satu pakaian yang sedang dijemur dan gelas” jawab lelaki Anshar itu.
“Cobalah bawa dua barang itu kemari.” Lelaki itu menurut . Ia pulang dan mengambil barang-barangnya, kemudian menyerahkan kepada Rasul. Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah? Ternyata melelangnya kepada para sahabat yang tengah hadir disitu.
Ada seorang sahabat yang menawarnya dengan satu dirham. Rasul kemudian masih menawarkan barang tersebut pada yang hadir.
“Siapa yang akan membeli dengan harga lebih dari satu dirham? Beliau mengulang-ulang penawarannya sampai akhirnya ada seorang sahabat yang mau membeli dengan harga dua dirham. Rasul kemudian memberikan uang dua dirham yang dimaksud kepada lelaki miskin itu.
“ Satu dirham ini untuk membeli  makanan untu keluargamu, dan sisanya satu dirham lagi kau belikan alat, sehingga kau bisa mencari nafkah. Setelah itu, datanglah kemari,” kata Rasulullah dengan bijak.
Beberapa saat kemudian, lelaki itu kembali dengan kapak ditangan. Ia kemudian menghadap Rasul. Kemudian, diikatkannya lidi ke kapak itu oleh Rasul.
“Sana, pergilah. Cari usaha dengan kapak itu, dan jangan kembali menghadap kecuali setelah limabelas hari..” perintah Rasulullah.
Pada hari kelima belas, lelaki tersebut kembali menghadap Rasul dengan membawa limabelas dirham. Uang itu didapat dari hasil jerih payahnya bekerja dengan kapak itu. Dengan uang sebanyak itu, lelaki itu bisa menafkahi keluarganya jauh lebih layak daripada saat ia menjadi peminta-minta. Nasehat terakhirpun di ucapkan Rasulullah pada lelaki Anshar itu, dan inipun nasehat yang sangat baik kita.
“Hal seperti itu, lebih baik daripada kau meminta-minta yang akan menimbulkan bintik hitam di wajahmu kelak di akherat,”
Sebuah kejadian yang buruk, bagi orang yang berprofesi sebagai peminta-minta di akherat kelak. Dan yang menyedihkan , hal ini tidak banyak diketahui oleh mereka.
Sebenarnya dalam Islam, perintah untuk bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya, telah tercantum pada beberapa ayat. Usaha itu lebih baik, dan mulia dibandingkan orang-orang yang malas, dan hanya mengandalkan pemberian orang semata. Karena dengan hasil maksimal orang yang berupaya yang terbaik dalam kehidupannya, bisa membuat keluarganya dalam kecukupan, juga bisa bersedekah memberikan hartanya untuk orang lain. Tentu tak dipungkiri, berdoa adalah sarana yang terbaik dilakukan setelah berusaha, kedua hal tersebut harus selalu mengiringi.
Tapi apakah orang yang hanya berdoa saja, duduk-duduk dimasjid adalah hal yang dibenarkan? Umar ibn Khathab juga pernah menegur orang-orang yang hanya menghabiskan waktunya di masjid tanpa mau berusaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Kalian jangan hanya duduk-duduk saja di sini, dan hanya beroda semoga Allah memberikan rezeki. Padahal kamu semua tahu, langit tidak serta meta menurunkan emas juga perak. SEdang Allah telah berfirman: ‘Apabila shalat telah ditunaikan maka menyebarlah di muka bumi, carilah karunia Allah. Dan perbanyaklah mengingat Allah agar kamu beruntung,..” (al-Jumu’ah:10)
Sebuah perpaduan yang manis, dari doa dan usaha. Mencari karunia di padu dengan ridha Allah, akan lebih indah umtuk insan dalam memaknai kehidupan. Semoga Allah selalu member petunjuk.
Sumber : ummi-online.com

Makna Menikah Menyempurnakan Setengah Agama

Makna Menikah Menyempurnakan Setengah Agama

Menikah adalah salah satu ibadah yang di anjurkan dalam islam, bahkan dalam beberapa pendapat yang mengatakan anjuran bagi yang mampu menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam maksiat maka Hukum Menikah wajib baginya.
Makna Menikah Menyempurnakan Setengah AgamaHadis pokok yang menjadi acuan perintah nikah adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).
Dalam kaitanya pembahasan kali ini tentang Makna Menikah Menyempurnakan Setengah Agama yaitu mengutip  dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengatakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang menikah, berarti telah melindungi setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah agamanya yang kedua.” Ini merupakan isyarat tentang keutamaan nikah, yaitu dalam rangka mlindungi diri dari penyimpangan, agar terhinndar dari kerusakan. Karena yang merusak agama manusia umumnya adalah kemaluannya dan perutnya. Dengan menikah, maka salah satu telah terpenuhi. (Ihya Ulumiddin, 2/22)
Demikian pula penjelasan yang disampaikan Al-Qurthubi. Beliau mengatakan,
 “Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.” Makna hadis ini bahwa nikah akan melindungi orang dari zina. Sementara menjaga kehormatan dari zina termasuk salah satu yang mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga. Beliau mengatakan, ‘Siapa yang dilindungi Allah dari dua bahaya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, yaitu dilindungi dari dampak buruk mulutnya dan kemaluannnya.’   (Tafsir al-Qurthubi, 9/327).
Dengan pernikahan maka seseorang dapat menjaga kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu zina. Hal itu dikarenakan bahwa naluri seseorang yang paling kuat dan keras adalah naluri seks dan naluri ini menuntut adanya solusi, dan islam memberikan solusinya dengan cara yang mulia yaitu, pernikahan.
Manfaat lainnya dari menikah adalah ketentramana jiwa, kebugaran jasmani, terpeliharanya mata dari pandangan-pandangan yang diharamkan, ketenangan hati, kejernihan fikiran dan kehormatan diri, sebagaimana firman Allah swt :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hadits diatas memberikan isyarat akan keutamaan menikah dikarenakan dapat melindunginya dari penyimpangan demi membentengi diri dari kerusakan. Dan seakan-akan bahwa yang membuat rusak agama seseorang pada umumnya adalah kemaluan dan perutnya maka salah satunya dicukupkan dengan cara menikah.” (Ihya Ulumuddin)
Wallahu a’lam.
Di ambil dari beberapa sumber

Hukum Memelihara Anjing Bagi Umat Islam

Hukum Memelihara Anjing Bagi Umat Islam


Hukum Memelihara Anjing Bagi Umat Islam
Alquran dan Hadist menganjurkan setiap Muslim mencintai binatang karena merupakan aspek kedudukan manusia sebagai khalifah di bumi. Karena itu, tidak sedikit umat Islam yang memelihara binatang, seperti kucing, dan lain-lain.
Namun, bagaimana dengan Hukum Memelihara Anjing Bagi Umat Islam? Apakah diperbolehkan dalam Islam?
Khusus menyangkut anjing, dapat ditemukan di dalam Alquran surah Al-Kahfi ayat 9-19. Dalam surah tersebut, dikisahkan bagaimana sekelompok pemuda yang amat taat beragama mengungsi ke satu gua untuk mempertahankan akidah agamanya dengan ditemani oleh seekor anjing.
Karena itu, Alquran membolehkan menggunakan anjing dan binatang buas lainnya yang telah diajarkan untuk berburu. Hasil buruannya juga halal dimakan, dengan syarat tidak dimakan oleh anjing tersebut. Hal ini telah dijelaskan dalam surah Al-Ma’idah ayat 4.
Ahli tafsir Indonesia M. Quraish Shihab menjelaskan dalam buku “M.Quraish Shihab Menjawab”, bahwa ulama berbagai mazhab membolehkan seseorang untuk memelihara anjing, antara lain untuk menjaga diri dari berbagai bahaya yang dapat mengancam.
Namun, yang menjadi persoalan adalah jika anjing yang dipelihara tersebut masuk dan keluar rumah, najis atau tidak?.
Menurut mazhab Abu Hanifah, anjing pada dasarnya tidaklah najis. Alasannya antara lain karena agama membolehkan memeliharanya dalam rangka berburu atau penjagaan tadi. Yang najis, menurut mazhab ini adalah hanya air liur dan kotorannya saja. Hal ini didasarkan pada hadis nabi yang berbunyi,
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian–bila anjing minum darinya–adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama di antaranya dengan tanah” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dalam rangka kehati-hatian, Quraish Shihab sendiri cenderung mendukung mazhab Syafi’i dan Hanbali yang mengatakan, bahwa anjing dan babi atau yang lahir dari salah satu dari  keduanya adalah najis, termasuk keringatnya. “Kalau telah terbukti melalui hadis di atas bahwa mulutnya najis, maka tentu bagian-bagian lain dari badannya juga najis,” kata mereka. (17/3/16)
Sumber : republika.co.id kanal khasanah

Bagaimana Hukum Hubungan Intim di Kamar Mandi?

Bagaimana Hukum Hubungan Intim di Kamar Mandi?


Hukum Hubungan Intim di Kamar Mandi
Ada beberapa pembahasan mengenai hal ini yang akan lebih mudah jika dikelompokan dalam beberapa poin:
Kesatu, Pasangan suami istri sesaat akan melakukan hubungan jima’ (hubungan intin) dianjurkan untuk berdoa terlebih dahulu, seperti yang dilakukan Rasulullah:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434)
Analoginya, dikamar mandi terlarang (makruh) untuk berdoa, menyebut asma Allah juga berzikir, seperti hadist riwayat Muslim yang menyatakan Rasulullah tidak membalas salam dari seseorang saat ia sedang di dalam kamar mandi.
Kedua, Imam Nawawi mengatakan jika hukumnya makruh untuk orang-orang yang buang hajat untuk berzikir mengucapkan Subhanallah, laa ilaaha illallah, tidak menjawab salam, berdoa dan menjawab doa orang yang bersin, juga menjawab Adzan.
Ketiga, Jika terpaksa bersin di kamar mandi, hendaklah berdoa dalam hati saja, begitu pula saat berjima’ jika dilakukan di kamar mandi, maka hendaklah berdoa dalam hati. Hal ini  hukumnya makruh tanzih bukan haram dan yang melakukannya bukan kategori dosa, demikian imam Nawawi menambahkan. (lihat Syarh Shahih Muslim, 4:61)
Keempat, Sebaiknya berhubungan intim jangan dilakukan dalam kamar mandi, apalagi kamar mandi umum, karena disamping itu  bukan tempat ideal dan nyaman untuk ibadah seperti itu, hal ini juga berhubungan dengan tempat lalu lalang banyak orang, apalagi pintunya yang tidak bisa tertutup sempurna.
Kelima, Menjaga kerahasiaan hubungan intim dari pengamatan orang lain, anak-anak dan dari orang-orang yang bisa mengetahui jika dilakukan di suatu tempat yang bisa saja didatangi mereka.  Padahal hubungan intim adalah hal yang patut dirahasiakan.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk manusia paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang menggauli istrinya kemudian dia sebarkan rahasia ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1437).
“sebarkan”, disini bukan hanya secara sengaja, namun juga karena kelalaian pelaku hubungan intim tersebut yang melakukan ditempat yang tidak aman dari pendengaran dan penglihatan orang lain.
Keenam, Ada pula yang menyebutkan (Fatwa Islam web) jika hukum berhubungan intim dalam kamar mandi tidaklah terlarang, dan tak ada pula kafarah yang ditunaikan, hanya saja hal tersebut menyelisihi adab kesopanan, dan satu lagi masalah yang cukup krusial yakni membaca doa sebelum jima’ di kamar mandi makruh atau cenderung terlarang jika dilakukan secara lesan.
Ketujuh, Lakukan hubungan intim di tempat yang semestinya (semisal kamar) yang tertutup rapat, yang lebih nyaman, tenang dan tidak ada rasa was-was jika ada yang mendekati tempat umum tersebut. Akan tetapi jika dalam keadaan terpaksa (oleh keadaan), sesuatu yang darurat dalam Islam, tentu dari yang Harampun bisa jadi halal begitu juga hukum makruh maka bisa beranjak jadi mubah.
Demikian sahabat dunia islam, semoga adab dalam Islam apapun bentuknya dapat dijalankan dengan mengikuti sunah Rasulullah. Seperti halnya berhubungan intim, semoga bisa dilakukan dengan lebih menyenangkan ditempat nyaman.
Referensi: ummi-online.com

Perkara Yang Mengharuskan Mandi Wajib

Perkara Yang Mengharuskan Mandi Wajib


Ilustrasi
Pengarang Matan Abu Syuja’, Al-Qadhi Abu Syujaa’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfihaany Rahimahullahu menulis,
“فصل” والذي يوجب الغسل ستة أشياء: ثلاثة تشترك فيها الرجال والنساء وهي: التقاء الختانين،  وإنزال المني، والموت. وثلاثة تختص بها النساء وهي:  الحيض،  والنفاس،  والولادة
Perkara yang mengharuskan Mandi Wajib itu ada 6, yaitu:
Tiga diantaranya berlaku sama bagi pria maupun wanita, yaitu: 1. Bertemunya dua jenis kemaluan (bersetubuh), 2. Keluarnya mani, 3. Mati (bukan mati syahid). Dan 3 lainnya khusus bagi wanita: 4. Haidh, 5. Nifas, 6. Melahirkan
Pertama, Bertemunya dua jenis kemaluan (jima’)
Sesungguhnya agama Islam sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian dengan perhatian yang sempurna. Diluar islam, tidak ada yang mengatur perihal mandi bagi para pengikutnya. Perhatian Islam atas kesucian merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan. Dalam syariat Islam, kita mengenal beberapa jenis perintah yang terkait dengan menjaga diri dari kotoran, najis dan hal hal yang tidak suci. Meski wudhu, mandi dan membersihkan najis termasuk perkara ritual, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu berhubungan dengan kebersihan.
Jika seorang suami menyetubuhi istrinya, maka ia wajib mandi. Seseorang dikatakan berjima’, jika ia memasukkan pucuk dzakarnya ke dalam farji istrinya. Manakala pucuk dzakarnya telah masuk farji istrinya ia diwajibkan mandi, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika dua khitan bertemu dan kepala dzakar (penis) laki-laki tersembunyi dalam kemaluan wanita, maka wajib mandi”. (HR. Ibnu Majah)
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدَ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يَنْزِلْ.
“Jika seorang laki-laki (suami) duduk di antara empat cabang (kedua kaki dan kedua tangan) istrinya, kemudian menyetubuhinya maka sungguh ia telah diwajibkan mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh, betapa banyaknya orang yang tidak mengetahui hukum jima’ dengan tidak mengeluarkan mani seperti ini. Diantara mereka ada yang sudah berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tidak mandi jinabat, padahal ia bersetubuh dengan istrinya tanpa mengeluarkan mani.
Sebagai seorang muslim wajib mengetahui permasalahan di atas dan mengetahui batas-batas yang diperintahkan Rasul-Nya. Misalnya, jika seorang suami bersetubuh dengan istrinya sekalipun tidak keluar mani, ia tetap wajib mandi begitu pula istrinya.
Adapun pengertian atau definisi daripada Mandi wajib Islam adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Adapun tujuan daripada mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadats besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah shalat.
Kedua, Keluarnya mani
Keluar mani disertai syahwat, baik dalam keadaan sadar atau dalam mimpi. Akan tetapi mimpi keluar mani dalam tidur, sudah pasti menyebabkan seseorang wajib mandi, sekalipun tidak disertai syahwat. Karena orang yang tidur kadang bermimpi tetapi bisa saja tidak merasa. Sudah pasti bagi yang keluar mani disertai syahwat, dalam keadaan bagaimanapun juga ia wajib mandi. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.
“Air itu dikarenakan air.” (HR. Muslim)
Maksudnya, mandi itu diwajibkan karena keluarnya air mani.
Mani lelaki berbentuk cairan pekat berwarna putih, adapun mani wanita encer berwarna kuning. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Sulaim Radhiallahu ‘Anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tentang seorang wanita yang bermimpi dalam tidur sebagaimana yang dialami kaum pria (mimpi basah).
Rasul bersabda: “Jika ia melihat keluarnya mani maka wajib mandi.”
Dengan malu-malu Ummu Sulaim Radhiallahu Anha bertanya: “Apakah seorang wanita juga mengalaminya (mimpi basah)?” Rasul menjawab: “Kalau begitu bagaimana mungkin seorang anak bisa mirip ibunya? Sesungguhnya mani pria itu pekat berwarna putih dan mani wanita encer berwarna kuning, siapa saja di antara keduanya yang lebih awal atau lebih dominan maka kemiripan akan condong kepadanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Beberapa karakteristik yang dijadikan patokan dalam mengenal mani adalah:
  1. a) Memancar akibat dorongan syahwat disertai rasa lemah setelahnya.
  2. b)  Baunya seperti bau mayang kurma sebagaimana yang telah dijelaskan.
  3. c)  Keluarnya dengan memancar sedikit demi sedikit.
Salah satu dari ketiga karakteristik tersebut cukup untuk menentukan apakah yang keluar itu mani ataukah bukan. Jika tidak ditemukan salah satu dari ketiga karakter di atas maka tidak boleh dihukumi sebagai mani karena dengan begitu hampir bisa dipastikan bahwa ia bukan mani. Ini berkaitan dengan mani pria. Adapun mani wanita warnanya kuning dan encer. Kadangkala warnanya putih bila kekuatannya melebihi kadar rata-rata.
Ada dua karakteristik yang jadi patokan dalam menentukan mani wanita.
  1. a)   Baunya seperti bau mani pria.
  2. b)   Nikmat saat mengeluarkannya dan merasakan lemah setelah itu.
Ketiga, Meninggal (bukan mati syahid)
Menurut sebagian ulama diantara hal yang mewajibkan mandi adalah mati, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada wanita-wanita yang sedang memandikan jenazah putri beliau:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ.
“Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, tujuh kali ataupun lebih dari itu, jika memang baik menurut pendapat-pendapatmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkenaan dengan seorang laki-laki yang terlontar dari untanya sehingga menyebabkan dia meninggal dunia:
إِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفًّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah ia dengan air yang dicampur daun bidara, dan kafanilah dengan dua lembar kain”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari nash-nash hadits di atas para ulama berkata: Jenazah itu wajib dimandikan, namun kewajiban ini berlaku bagi orang yang masih hidup, dan merekalah yang menjadi sasaran perintah dalam memandikan jenazah, karena orang mati sudah terputus beban taklifnya.
Keempat, Haidh
Seorang wanita jika telah suci dari haidhnya, ia diwajibkan mandi, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. (Al-Baqarah: 222)
Batasan waktu menjauhi dan tidak mendekati istri yang haidh adalah, { حَتَّى يَطْهُرْنَ } “sampai mereka suci”, yaitu, darah mereka telah berhenti, maka apabila darah mereka telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir.
Syarat kehalalannya ada dua, terputusnya darah dan mandi suci darinya. Ketika darahnya berhenti lenyaplah syarat pertama hingga tersisa syarat kedua. Maka oleh karena itu Allah berfirman, {فَإِذَا تَطَهَّرْنَ } “Apabila mereka telah suci”, maksudnya mereka telah mandi, {فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ} “maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”, yaitu pada kemaluan depan dan bukan lubang bagian belakang, karena bagian itu adalah tempatnya bersenggama, ayat ini merupakan dalil atas wajibnya mandi bagi seorang wanita yang haidh dan bahwasanya terputusnya darah adalah syarat sahnya mandi. Inilah pendapat jumhur ulama’
Dan tatkala larangan tersebut merupakan kasih sayang dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya dan pemeliharaan dari kotoran, maka Allah berfirman, {إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِين} “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat”, yaitu dari dosa-dosa mereka secara terus menerus, {وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ} “dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”, yaitu yang bersuci dari dosa-dosa, dan ini mencakup segala macam bersuci dari yang bersifat matrial seperti dari najis maupun hadats.
Kelima, Nifas (darah yang menyertai kelahiran)
Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Wanita yang selesai nifas, diwajibkan mandi. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kepada seorang wanita mustahadhah, apabila telah sesuai dengan hari berhenti haidhnya hendaknya ia mandi. (Lihat, hadits Bukhari dan Muslim, kitab al-Haidh)
Cara mandi wanita haidh dan wanita nifas sama dengan cara mandi wanita jinabah. Hanya saja menurut sebagian ulama, bagi wanita haidh disunnahkan (mustahab) untuk mandi dengan air yang dicampur daun bidara karena dapat lebih membersihkan kotoran (bau darah).
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
Keenam, Melahirkan
Mandi Wiladah yaitu Mandi disebabkan illat bersalin. Ini adalah satu pendapat yang masyhur dalam Syafi’iyah, antaranya dalam Kitab-kitab populer mereka seperti: Fathul Mu’ien, Kifayatul Akhyar dan Al Ghoyah wa Taqriib.
Ini dinamakan mandi wajib karena bersalin, kemudian dikenakan juga mandi karena selesainya Nifas (40 hari). Tapi mandi yang disyariatkan menurut pendapat Jumhur ialah mandi Nifas saja. Jika bersalin tanpa darah atau bersalin secara Caesar tanpa ada darah, maka menurut Hanabilah dan fatwa-fatwa seperti Lajnah Daimah tidak wajib mandi, sebab illat mandi ialah adanya Nifas (bila kering nifas, barulah mandi)
Permasalahan mandi wiladah dan nifas ini adalah khilaf pada tafsiran illat (sebab) mandi bagi wanita: sama saja karena bersalin atau karena darah Nifas.
sumber: Di kutip dari darussalam-online.com

Pentingnya Menjaga Lisan

Pentingnya Menjaga Lisan
Hasil gambar untuk menjaga lisan gambar
“ Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian,hendaklah iya bertutur kata yang baik atau lebih baik diam” (HR. Bhukhari dan Muslim)
Sahabat dunia islam, jika ucapan adalah perak, maka diam adalah emas. ungkapan ini seolah mengisaratkan kita bahwa diam menyelamatkan kita. dan diam itu lebih baik dari pada berkata kata tetapi tidak ada manfaat nya.
Bahkan lisan memegang peranan penting dari 77 cabang keimanan. amal lisan adalah yg paling bnyak jumlah nya. oleh karenanya islam menekankan akan penting nya menjaga lisan dalam kehidupan sehari hari.
Imam al-ghajali rahimahullah memberikan nasehat kepada kita, bahwa lisan sungguh amat besar bahayanya. tidak ada manusia yg bisa selamat dari lisan ini kecuali dengan diam. oleh sebab itu, islam memuji orang yg diam tidak berkata kata kecuali yg keluar dari lisanya ini sebuah perkataan yg baik.
Allah SWT berfirman : ….serta ucapkanlah kata kata yg baik kepada manusia”.(Q.S Al baqarah :83).
Pentingnya Menjaga Lisan
Terkadang menjaga lisan itu sangat sulit dilakukan oleh kita, kecuali orang orang beriman kepada Allah dan menyakini akan adanya hari akhir yaitu hari penuh perhitngan dan pembalasan.
Sahabat dunia islam, yakin lah orang yg berbuat dan beramal shalih pasti akan di balas dgn kesenangan dan kebahagian. sedangkan orang yg tidak berbuat baik dan tidak beramal shalih mendapatkan balasan dari keburukan itu. semoga Allah memberi kepada kita ke istiqomahan dalam beramal shalih.
Sesungguh nya kita mengetahui bahwa lisan merupakan salah satu nikmat yang besar, bentk nya kecil dan halus namun disitu terletak kebaikan dan keburukan seseorang.
amat besar pengaruhnya terhadap yang positif maupun yg negatif dalam kehidupan seorang muslim.
Membahas tentang lisan ada satu nasehat yang sangat berharga dalam hal menjaga lisan, disampaikan oleh Rasulullah SAW dan menjadi tuntunan kita, sebagai mana hadis di atas yaitu “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendak nya berkata baik atau diam”
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Uqbah bin Amir berkata : aku pernah bertanya kepada Rasullah SAW, Ya Rasulullah, apakah keselamatan itu? beliau menjawab, tahan lah lisan mu dan hendak nya rumah mu menyenangkan mu (karena penuh dengan dzikir dan mengingat Allah SWT) dan menangislah atas kesalahan mu (karena menyesal). (HR. Tirmidzi).
Diujung pembahasan tentang Pentingnya Menjaga Lisan, mari kita selalu menjaga diri dari ucapan yg tidak bermanfaat seperti gibah, menceritakan keburukan orang lain maupun berbohong dan menfitnah. banyak berbicara yg tidak bermanfaat membuat hati menjadi keras, jika kita tidak mampu untk menjaga semua itu maka lebih baik diam. dan diam merupakan pilihan paling bijak dan menyelamatkan baik dunia maupun akhirat.
tidak sedikit persahabatan menjadi retak hanya karena perkataan yang menyinggung perasaan, banyak pertemanan yang akhirnya berujung pertengkaran dan permusuhan, tidak sedikit pasangan suami istri yang cekcok dan bertengkar dikarenakan ucapan yg salah keluar dari lisan. olehkarena itu. jika kita tidak mampu berkata baik, maka diam jalan yang paling bijak. semoga bermanfaat.

sumber: Buletin Da’wah (H. Abdul Kadir Badjuber, M.Pd.I)

Inilah Buroq, Tunggangan Nabi Muhammad SAW Saat Isra Miraj!

Inilah Buroq, Tunggangan Nabi Muhammad SAW Saat Isra Miraj! Isra Miraj  merupakan perjalanan  Nabi Muhammad SAW  yang dilakukan ...