Sebagian orang ada yang beralasan dengan takdir ketika berbuat maksiat atau dosa.
Seorang pencuri, perampok atau peminum minuman keras, bisa jadi akan mengatakan, "Habis mau bagaimana, memang sudah dari sananya," maksudnya sudah ditetapkan olah Allah subhanahu wata’ala. Ada kalanya mereka mengatakan demikian karena untuk menenangkan atau menghibur diri. Bahkan ada yang mengaku bahwa itu adalah bagian dari keimanan terhadap qadha' dan qadar. Yakni qadar Allah yang baik dan yang buruk yang manis maupun yang pahit, semuanya dari Allah. Sehingga dengan alasan itu seakan-akan mereka terbebas dari kesalahan dan tuntutan dosa, karena apa yang dia lakukan berupa kemaksiatan adalah berasal dari ketetapan Allah juga. Benarkah demikian?
Pada dasarnya memang segala sesuatu adalah ciptaan Allah subhanahu wata’ala, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terjadi. Hanya Allah sendirilah yang bukan makhluk, baik Dzat maupun sifat-sifat-Nya, sedangkan selain Dia adalah makhluk, Dialah Al- Khaliq. Dan di antara makhluk Allah subhanahu wata’ala adalah kebaikan dan keburukan, segala yang baik dan segala yang buruk. Makhluk ciptaan Allah yang baik misalnya malaikat dan para nabi, dan makhluk Allah yang buruk misalnya Iblis dan para penentang rasul seperti Abu Lahab, Abu Jahal dan orang yang semisalnya.
Namun harus diingat bahwa Allah subhanahu wata’ala menjadikan manusia ini bukan seperti robot yang tergantung operator. Bukan pula seperti batu dan pohon. Manusia adalah makhluk mukallaf yang diberi kemampuan dapat membedakan yang baik dan buruk serta kemampuan memilihnya, sebagaimana firman-Nya, artinya,
“Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS.Hud:7)
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. 67:2)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. 76:2)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk diuji agar berbuat baik menurut kemampuannya. Dia akan melaksanakan ataukah tidak setelah mengetahui kebaikan tersebut. Dan kemampuan seperti ini telah ada pada manusia sebagai anugrah dari Allah, yakni berupa:
1. Akal sehat, yang merupakan tumpuan taklif. Oleh karena itu, setiap orang yang berakal sehat adalah mukallaf, sehingga siapa saja yang hilang akalnya, maka secara otomatis hilang pula taklif dari dirinya. Sebagai misal, orang gila yang mengambil uang atau benda milik orang lain, atau tidak shalat maka tidak dapat disalahkan, karena akal sehatnya hilang sehingga taklif (beban dosa) dari perbuatan salahnya juga hilang.
2. Normalnya alat/sarana yang menjadi tolok ukur kemampuan dari segi kesehatan dan kemampuan.Maksud nya adalah anggota badan yang normal yang dengannya memungkinkan seseorang untuk mengerjakan kebaikan tersebut. Oleh karena itu orang yang sedang sakit tidak kena beban puasa atau shalat berjama'ah di masjid dan beban-beban lain yang dia tidak mampu melakukan nya dalam kondisi tertentu. Ada pun yang dia mampu, maka tetap menjadi taklif baginya, misalnya shalat dengan berbaring.
Faktor yang memotivasi kebaikan adalah: pertama; Fithrah (naluri asli manusia yang condong kepada kebaikan). Ke dua; Akal yang mampu membedakan dan menganalisa, dan yang ke tiga; Wahyu Allah yang diberikan kepada rasul dan telah disampaikan kepada manusia.
Sedangkan yang memotivasi kejahatan adalah syetan, yang didukung dengan keinginan-keinginan nafsu manusia, dan nafsu inilah yang biasa dimanfaatkan oleh setan. Allah subhanahu wata’ala telah memberikan kemampuan kepada setan untuk mempengaruhi manusia, namun manusia juga diberi senjata untuk menghadapinya, yaitu petunjuk jalan dan perlindungan bagi siapa saja yang berlindung kepada-Nya. Terserah manusia akan menggunakan senjata tersebut atau tidak. Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan manusia untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan setan. Dia berfirman, artinya,
1. Akal sehat, yang merupakan tumpuan taklif. Oleh karena itu, setiap orang yang berakal sehat adalah mukallaf, sehingga siapa saja yang hilang akalnya, maka secara otomatis hilang pula taklif dari dirinya. Sebagai misal, orang gila yang mengambil uang atau benda milik orang lain, atau tidak shalat maka tidak dapat disalahkan, karena akal sehatnya hilang sehingga taklif (beban dosa) dari perbuatan salahnya juga hilang.
2. Normalnya alat/sarana yang menjadi tolok ukur kemampuan dari segi kesehatan dan kemampuan.Maksud nya adalah anggota badan yang normal yang dengannya memungkinkan seseorang untuk mengerjakan kebaikan tersebut. Oleh karena itu orang yang sedang sakit tidak kena beban puasa atau shalat berjama'ah di masjid dan beban-beban lain yang dia tidak mampu melakukan nya dalam kondisi tertentu. Ada pun yang dia mampu, maka tetap menjadi taklif baginya, misalnya shalat dengan berbaring.
Faktor yang memotivasi kebaikan adalah: pertama; Fithrah (naluri asli manusia yang condong kepada kebaikan). Ke dua; Akal yang mampu membedakan dan menganalisa, dan yang ke tiga; Wahyu Allah yang diberikan kepada rasul dan telah disampaikan kepada manusia.
Sedangkan yang memotivasi kejahatan adalah syetan, yang didukung dengan keinginan-keinginan nafsu manusia, dan nafsu inilah yang biasa dimanfaatkan oleh setan. Allah subhanahu wata’ala telah memberikan kemampuan kepada setan untuk mempengaruhi manusia, namun manusia juga diberi senjata untuk menghadapinya, yaitu petunjuk jalan dan perlindungan bagi siapa saja yang berlindung kepada-Nya. Terserah manusia akan menggunakan senjata tersebut atau tidak. Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan manusia untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan setan. Dia berfirman, artinya,
“Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb manusia". Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia.” (QS. 114:1-6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya setan itu mengalir pada tubuh manusia seperti mengalirnya darah." (HR.al-Bukhari)
Allah subhanahu wata’ala adalah hakim yang Maha Adil. Dia mempunyai hujjah-hujjah yang nyata atas hamba-hamba Nya. Dia menjadikan faktor pendorong kebaikan lebih banyak daripada faktor pendorong kejahatan, dan Dia menjelas kan dua jalan ini melalui firman-Nya, artinya,
"Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS. Al Balad:10)
Setelah itu manusia mengambil jalan yang dia kehendaki berdasarkan pilihannya. Maka siapa saja yang menempuh jalan kebaikan, menuruti faktor pendorong kebaikan, mengalahkan faktor pendorong keburukan, maka dia berhak mendapatkan ganjaran pahala. Dan barang siapa yang memilih jalan keburukan, mengikuti faktor pendorong keburukan, maka dia berhak mendapatkan siksa.
Keseluruhan perbuatannya itu terjadi atas kemauan dan pilihan manusia sendiri. Dia merasakan dengan kesadaran yang sepenuhnya, bahwa dia tidak dipaksa untuk melakukannya. Dan jika dia mau, maka ia tidak berbuat yang demikian itu. Semua ini dapat dimengerti secara sempurna dan dirasakan oleh setiap insan, dan juga telah dinyatakan oleh dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah yang suci.
Kemudian pelaksanaan kebaikan maupun keburukan oleh manusia tidak menafikan penisbatan (terjadinya) kepada Allah yang menciptakan, karena Dia adalah Dzat yang mencipta kan segala sesuatu dan sebab-sebab kejadian. Namun keburukan yang dilakukan oleh manusia bukanlah kehendak Allah, sehingga tidak mungkin untuk dinisbatkan kepada Allah, terbukti Allah mengutus rasul, menurunkan wahyu dan membekali manusia dengan akal dan fithrah yang lurus.
Maka apabila ada manusia yang beralasan dengan qadar untuk berbuat maksiat, jelas alasannya tidak dapat diterima dan tidak masuk akal. Allah subhanahu wata’ala telah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi'ah (kehendak) Allah atas kekufuran yang mereka lakukan dalam firman Nya, artinya,
Keseluruhan perbuatannya itu terjadi atas kemauan dan pilihan manusia sendiri. Dia merasakan dengan kesadaran yang sepenuhnya, bahwa dia tidak dipaksa untuk melakukannya. Dan jika dia mau, maka ia tidak berbuat yang demikian itu. Semua ini dapat dimengerti secara sempurna dan dirasakan oleh setiap insan, dan juga telah dinyatakan oleh dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah yang suci.
Kemudian pelaksanaan kebaikan maupun keburukan oleh manusia tidak menafikan penisbatan (terjadinya) kepada Allah yang menciptakan, karena Dia adalah Dzat yang mencipta kan segala sesuatu dan sebab-sebab kejadian. Namun keburukan yang dilakukan oleh manusia bukanlah kehendak Allah, sehingga tidak mungkin untuk dinisbatkan kepada Allah, terbukti Allah mengutus rasul, menurunkan wahyu dan membekali manusia dengan akal dan fithrah yang lurus.
Maka apabila ada manusia yang beralasan dengan qadar untuk berbuat maksiat, jelas alasannya tidak dapat diterima dan tidak masuk akal. Allah subhanahu wata’ala telah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi'ah (kehendak) Allah atas kekufuran yang mereka lakukan dalam firman Nya, artinya,
"Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami". Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (QS. 6:148)
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, "Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya".Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. 16:35)
Mereka orang-orang musyrik berdalil dengan masyi'ah (kehendak) Allah, atas dasar ridha dan mahabbah-Nya dan bahkan mereka menjadikan masyi'ah sebagai tanda ridha. Padahal Allah tidak mencintai kesyirikan dan tidak pula meridhainya, bahkan Allah subhanahu wata’ala mengutuk dan melarangnya. Maka apa yang dia perintahkan itulah yang diridhai dan dicintai, dan apa yang Dia larang adalah yang dicela dan dimurkai.
Oleh karena itu, berhujah dengan qadar ketika melaksanakan keburukan adalah merusak dan menghilangkan makna balasan atas amal perbuatan baik, juga merusak hikmah penciptaan surga dan neraka. Sehingga akan menjadi sama saja antara orang yang berbuat baik dengan orang yang paling jahat sekalipun. Semua masuk surga dan tidak ada yang disiksa. Sama saja antara Fir'aun dan Nabi Musa ’alaihis salam, antara Nabi Ibrahim ’alaihis salam dengan Namrudz, antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Abu Jahal dan Abu Lahab. Ini jelas tidak mungkin, karena bertentangan dengan sifat Allah yang Maha Adil.
Kemudian orang yang berdalih dengan takdir pasti tidak akan mau menerima hujjah orang lain yang juga berdalih dengan takdir. Andaikan suatu saat ada orang lain yang mengambil hartanya, atau mencederai dan bahkan membunuh keluarganya -misalnya-, maka apakah dia menerima alasan orang yang berbuat jahat terhadapnya itu, ketika mengatakan, "Ini adalah takdir dari Allah, jangan salahkan saya." Tentu tidak, bahkan ia menuntut haknya dan meminta agar diterapkan hukuman atas orang yang telah menyalahi hukum dengan berbuat jahat terhadapnya. Apa yang terjadi memang benar takdir Allah, namun kehendak jahat dan buruk tersebut adalah dari pelakunya. Dia berbuat secara sadar, tidak dalam keadaan hilang akal, dan sebenarnya dia juga punya pilihan dan kemampuan untuk tidak melakukan hal itu.
Dan ada satu pertanyaan yang cukup mengherankan untuk orang yang beralasan dengan takdir ketika melakukan maksiat yaitu, mengapa dia tidak beralasan dengan takdir juga ketika melakukan kebaikan? Sehingga tidak perlu mengharap pahala dan surga, karena Allah-lah yang menakdirkan kebaikan itu. Ini merupakan sikap seenaknya dan tidak konsisten. Ketika berbuat buruk dinisbatkan kepada Allah subhanahu wata’ala sedangkan ketika berbuat baik dinisbatkan kepada diri sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beralasan dengan takdir ketika melakukan kejahatan dan kemaksiatan adalah tidak benar dan alasannya tidak dapat diterima. Seandainya takdir adalah hujjah untuk kemaksiatan, maka tentu akan menjadi hujjah bagi semuanya, dalam segala urusan dan dalam kondisi apa pun. Sehingga tidak ada bedanya antara orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat. Lalu apa gunanya Allah subhanahu wata’ala menjanjikan balasan pahala bagi yang berbuat baik dan siksa bagi yang berbuat jahat, jika semua orang yang berbuat jahat diterima alasannya, yaitu karena sudah takdir?
Oleh karena itu, seorang mukallaf senantiasa dituntut untuk melakukan kebaikan (setelah dia tahu) dan meninggalkan keburukan selama akal sehatnya masih belum hilang dan dia memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: “Kitab Tauhid 2 Ali,” hal 176-181, dengan beberapa penambahan dan penyesuaian. (Abu Ahmad Taqiyuddin)
Oleh karena itu, berhujah dengan qadar ketika melaksanakan keburukan adalah merusak dan menghilangkan makna balasan atas amal perbuatan baik, juga merusak hikmah penciptaan surga dan neraka. Sehingga akan menjadi sama saja antara orang yang berbuat baik dengan orang yang paling jahat sekalipun. Semua masuk surga dan tidak ada yang disiksa. Sama saja antara Fir'aun dan Nabi Musa ’alaihis salam, antara Nabi Ibrahim ’alaihis salam dengan Namrudz, antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Abu Jahal dan Abu Lahab. Ini jelas tidak mungkin, karena bertentangan dengan sifat Allah yang Maha Adil.
Kemudian orang yang berdalih dengan takdir pasti tidak akan mau menerima hujjah orang lain yang juga berdalih dengan takdir. Andaikan suatu saat ada orang lain yang mengambil hartanya, atau mencederai dan bahkan membunuh keluarganya -misalnya-, maka apakah dia menerima alasan orang yang berbuat jahat terhadapnya itu, ketika mengatakan, "Ini adalah takdir dari Allah, jangan salahkan saya." Tentu tidak, bahkan ia menuntut haknya dan meminta agar diterapkan hukuman atas orang yang telah menyalahi hukum dengan berbuat jahat terhadapnya. Apa yang terjadi memang benar takdir Allah, namun kehendak jahat dan buruk tersebut adalah dari pelakunya. Dia berbuat secara sadar, tidak dalam keadaan hilang akal, dan sebenarnya dia juga punya pilihan dan kemampuan untuk tidak melakukan hal itu.
Dan ada satu pertanyaan yang cukup mengherankan untuk orang yang beralasan dengan takdir ketika melakukan maksiat yaitu, mengapa dia tidak beralasan dengan takdir juga ketika melakukan kebaikan? Sehingga tidak perlu mengharap pahala dan surga, karena Allah-lah yang menakdirkan kebaikan itu. Ini merupakan sikap seenaknya dan tidak konsisten. Ketika berbuat buruk dinisbatkan kepada Allah subhanahu wata’ala sedangkan ketika berbuat baik dinisbatkan kepada diri sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beralasan dengan takdir ketika melakukan kejahatan dan kemaksiatan adalah tidak benar dan alasannya tidak dapat diterima. Seandainya takdir adalah hujjah untuk kemaksiatan, maka tentu akan menjadi hujjah bagi semuanya, dalam segala urusan dan dalam kondisi apa pun. Sehingga tidak ada bedanya antara orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat. Lalu apa gunanya Allah subhanahu wata’ala menjanjikan balasan pahala bagi yang berbuat baik dan siksa bagi yang berbuat jahat, jika semua orang yang berbuat jahat diterima alasannya, yaitu karena sudah takdir?
Oleh karena itu, seorang mukallaf senantiasa dituntut untuk melakukan kebaikan (setelah dia tahu) dan meninggalkan keburukan selama akal sehatnya masih belum hilang dan dia memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: “Kitab Tauhid 2 Ali,” hal 176-181, dengan beberapa penambahan dan penyesuaian. (Abu Ahmad Taqiyuddin)
No comments:
Post a Comment