Rasa takut maupun rasa hormat dan kagum serta rasa ketergantungan yang berlebih-lebihan ini akan mudah dikontrol, bahkan bisa dicegah, jika manusia mau dan mampu memanfa'atkan dua fasilitas lain yang hanya dikaruniakan oleh Allah sebagai ni'mat-Nya yang tertinggi kepada manusia. Oleh karena itu kedua fasilitas ini sangatlah penting artinya bagi manusia. Keduanya dikaruniakan Allah kepada manusia dengan percuma, justru sebagai penunjang karunia-Nya yang berupa kemerdekaan tadi.
Kedua fasililas ini ialah 'akal dan rasa. Dengan 'akal ini manusia bisa menimbang, menganalisa, memahami, dan akhirnya membuat atau menentukan pilihan yang paling baik untuknya. Sedangkan dengan fasilitas rasa, manusia akan mampu meresapkan dan/atau menciptakan keindahan, menghayati dan/atau menggubah kesenian. Dengan mengembangkan ni'mat rasa, manusia akhirnya bisa menjadi pencinta kebenaran, keindahan atau kesucian, dan keadilan; bukan sekedar menjadi penuntut kebenaran (hak) dan ke'adilan.
Kedua fasililas ini ialah 'akal dan rasa. Dengan 'akal ini manusia bisa menimbang, menganalisa, memahami, dan akhirnya membuat atau menentukan pilihan yang paling baik untuknya. Sedangkan dengan fasilitas rasa, manusia akan mampu meresapkan dan/atau menciptakan keindahan, menghayati dan/atau menggubah kesenian. Dengan mengembangkan ni'mat rasa, manusia akhirnya bisa menjadi pencinta kebenaran, keindahan atau kesucian, dan keadilan; bukan sekedar menjadi penuntut kebenaran (hak) dan ke'adilan.
Ni'mat rasa, jika berkembang subur, juga akan menjadikan manusia mampu menghargai (appreciate) keseimbangan dan keharmonian, bahkan akan meningkatkan watak manusia yang sungguh-sungguh mengembangkannya (baca: mensyukurinya) menjadi manusia pengasih, penyayang, pencinta yang senantiasa rindu dan terikat (committed) kepada kebenaran, keseimbangan, keserasian dan ke'adilan. Kerinduan dan keterikatan (commitment) kepada kebenaran dan ke'adilan ini bisa sedemikian rupa kuatnya, sehingga ia siap berkorban, kalau perlu, untuk memperjuangkan dan mempertahankannya. Inilah pula landasan daripada iman, serta penyebab utama tumbuhnya watak khusyu' atau 'asyik (rindu) akan "Kebenaran Mutlak" (Al-Haq).
Oleh karena itu, kedua ni'mat Allah yang paling penting ini wajib disyukuri manusia. Cara mensyukuri keduanya ialah dengan mempergunakan dan mengembangkan kemampuan (potensi) keduanya secara maksimal dan seimbang, dengan mengasah keduanya sampai menjadi alat yang paling ampuh di dalam mempertahankan kemerdekaan tadi. Manusia yang ber'akal cerdas dan sarat 'ilmu serta berwatak cinta akan ke'adilan dan kebenaran (Ulul 'ilmi Qaaiman bil-Qisthi, Q.3:18), pasti akan menolak mentah-mentah setiap macam bentuk perbudakan dan penindasan, walaupun bagaimana halusnya bentuk perbudakan itu, karena ia hanya kenal tunduk kepada Yang Mutlak.
Mensyukuri ni'mat 'akal berarti mengasahnya atau melatihnya untuk memecahkan masalah-masalah 'ilmu pengetahuan semahir-mahirnya. Mengasah rasa ialah dengan melatihnya menghadapi tantangan-tantangan hidup, mendidiknya menjadi cinta, bahkan rindu akan kebenaran dan ke'adilan, sehingga ia berani dan siap berkorban, jika perlu, apabila ia dihadapkan kepada kenyataan, bahwa kebenaran dan ke'adilan itu sedang terancam atau diperkosa oleh siapapun. Masyarakat yang anggota-anggotanya cerdas, ber'ilmu dan terdidik cinta akan kebenaran dan ke'adilan tidak akan pernah bersikap "nrimo ". Di kalangan masyarakat yang ber'ilmu dan berpendidikan tinggi, manusia-manusia yang kejangkitan penyakit iblis --yang berwatak "kibir" atau sombong-- tadi biasanya tidak mendapat pasaran.
Kepada manusia yang berkwalitas cerdas, ber'ilmu dan terdidik cinta dan merasa terikat (committed) akan kebenaran dan ke'adilan inilah, ni'mat Allah yang tertinggi, yakni hidayah iman akan dianugerahkan. Memang, ni'mat hidayah iman, dalam arti kata yang sesungguhnya akan diberikan hanya kepada manusia yang berkwalitas tersebut. Tanpa kwalitas seperti itu Allah tidak pernah menjamin akan mengkaruniakannya. Sedangkan seorang jauhari tidak akan memasangkan intan di atas cincin tembaga, konon pula Allah Yang Maha 'Arif. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya: "Barang siapa ditunjuki Allah, ia mendapat petunjuk (hidayah); barangsiapa yang sesat mereka menderita kerugian." (Q. 7:178).
Ayat ini membuktikan, bahwa nikmat hidayah (iman dan 'ilmu) tidak pernah diberikan Allah secara percuma (gratis). Perbedaan nikmat iman dan 'ilmu dengan nikmat kehidupan dan kemerdekaan, justru dalam hal ini. Nikmat kehidupan dan kemerdekaan diberikan percuma oleh Allah kepada setiap orang, bahkan prasarana dan alat bantu untuk mempertahankan dan memperkembangkannya diberikan Allah dengan percuma pula. Prasarana untuk menunjang kehidupan ini ialah instinct dan nafsu. Tanpa kedua penunjang ini manusia tidak akan dapat mempertahankan hidupnya, oleh karena itu nikmat instinct dan nafsu diberikan Allah gratis dan keduanya berkembang bersama dan sebanding dengan tingkat kehidupan itu.
Nikmat kemerdekaan, sebagaimana yang telah diterangkan di atas, ditunjang oleh nikmat akal dan rasa, yang juga dikaruniakan Allah gratis. Namun, jika nikmat akal dan rasa ini dikembangkan (disyukuri) secara sungguh-sungguh dan maksimal, maka keduanya akan bisa menjadi sebab datangnya anugerah Allah yang paling tinggi itu, yang hanya dikaruniakan Allah kepada manusia-manusia terpilih, yaitu orang-orang yang berjuang (berjihad) memanfaatkan keduanya secara optimal, itulah yang dimaksud dengan firman Allah: "Mereka yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Kami pasti akan Kami tunjuki (beri hidayah) jalan-jalan Kami; Sungguh, Allah bersama orang yang berbuat baik." (Q. 29:69)
Jadi untuk mendapatkan petunjuk Allah yang berupa iman dan 'ilmu secara pasti, manusia perlu berjuang (berjihad), dan karena itu pula perjuangan untuk mencari hidayah ('iman dan 'ilmu), yang jika telah diperoleh akan mampu mempertahankan dan meningkatkan nilai kehidupan dan kemerdekaan, adalah bentuk perjuangan yang dinilai paling tinggi oleh Allah, sehingga orang yang sampai gugur dalam perjuangan ini akan diangkat langsung ke dalam surga Jannatunna'im. Perjuangan seperti ini dinamakan perjuangan menempuh jalan Allah (sabili-Llah) dan mereka yang gugur tidak boleh disebutkan mati, karena pada hakikatnya mereka itu tetap hidup sebagai saksi-saksi kemanusiaan (syuhada). Bukanlah nilai kemanusiaan itu tidak akan pernah mati.
Bagi mereka yang enggan berjuang, Allah tidak pernah menjamin akan menganugerahi mereka hidayah iman dan 'ilmu. Yang dimaksud dengan: "barangsiapa yang sesat" di dalam ayat (Q.7:178) di atas, tiada lain ialah mereka yang tidak dengan sungguh-sungguh mensyukuri (baca: mengembangkan secara maksimal) potensi akal dan rasa mereka. Padahal anugerah yang lain, yang lebih rendah nilainya, misalnya rezeki, tetap dijamin Allah bagi setiap makhluk-Nya yang sudah diberinya kehidupan, bahkan binatang sekalipun. Inilah yang dimaksudkan-Nya dengan ayat-Nya:
"Betapa banyaknya binatang yang tiada membawa bekal, namun Allah menjamin rezeki mereka serta rezeki kamu. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (Q.29:60)
Ayat yang hampir sama maksudnya ialah (Q. 11:6), juga menjamin disediakannya rezeki bagi setiap yang diberi-Nya kehidupan.
"Tiada yang melata di muka bumi, melainkan tanggungan Allah rezekinya."
Oleh karena itu, orang yang beriman akan ayat-ayat ini pasti akan menjadi manusia yang berwatak optimis di dalam menghadapi kebutuhan materielnya; ia tidak akan pernah terlalu risau akan rezeki, yang diyakininya pasti akan diperolehnya selama hayat dikandung badan. Yang menjadi fokus perhatiannya di dalam menjalani hidup di dunia ini, ialah bagaimana mempertahankan kemerdekaannya sebagai manusia yang punya harga diri serta bagaimana mempertebal imannya, sehingga betul-betul menjadi manusia bertaqwa yang diredhai Allah Maha Pencipta yang dikasihinya.
Ia merasa tidak perlu menuntut hak-hak istimewa terhadap masyarakat sekitarnya, karena ia yakin bahwa manusia ini sama dan semuanya hamba Allah, dan ia merasa tidak perlu berendah diri terhadap orang lain, karena perbedaan derajat antara manusia di sisi Allah hanyalah diukur oleh mutu ketaqwaan seseorang terhadap Allah SWT. Oleh karena itu pula manusia yang berwatak begini tidak akan pernah bersemangat "nrimo" seperti diterangkan di atas, konon pula berwatak budak terhadap orang lain.
Sebaliknya, manusia seperti ini dalam kesempatan yang bagaimanapun tidak akan menjadi seorang yang otoriter, konon pula seorang tiran, karena ia yakin, bahwa tirani berarti memperkosa hak asasi manusia lain sesama hamba Allah SWT. Dengan kata lain ia yakin, bahwa otoriterisme dan tirani bertentangan dengan kemanusiaan yang 'adil dan beradab.
Ia merasa tidak perlu menuntut hak-hak istimewa terhadap masyarakat sekitarnya, karena ia yakin bahwa manusia ini sama dan semuanya hamba Allah, dan ia merasa tidak perlu berendah diri terhadap orang lain, karena perbedaan derajat antara manusia di sisi Allah hanyalah diukur oleh mutu ketaqwaan seseorang terhadap Allah SWT. Oleh karena itu pula manusia yang berwatak begini tidak akan pernah bersemangat "nrimo" seperti diterangkan di atas, konon pula berwatak budak terhadap orang lain.
Sebaliknya, manusia seperti ini dalam kesempatan yang bagaimanapun tidak akan menjadi seorang yang otoriter, konon pula seorang tiran, karena ia yakin, bahwa tirani berarti memperkosa hak asasi manusia lain sesama hamba Allah SWT. Dengan kata lain ia yakin, bahwa otoriterisme dan tirani bertentangan dengan kemanusiaan yang 'adil dan beradab.
No comments:
Post a Comment