Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَا
وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا
اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ
فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
“Wahai Wabishah, mintalah
fatwa pada hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan
hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu.
Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa”
(HR. Ahmad no.17545, Al Albani dalam Shahih At Targhib [1734]
mengatakan: “hasan li
ghairihi“).
Apa
maksud “minta fatwa pada
hati“? Kalau seseorang dalam hatinya merasa shalat itu tidak nyaman,
sulit, capek, lalu akhirnya boleh tidak shalat? Kalau seorang wanita minta
fatwa pada hatinya lalu hatinya mengatakan tidak usah pakai jilbab, lalu
kemudian boleh tidak pakai jilbab? Apakah patokan benar-salah itu hati atau
perasaan?
Demikianlah
hadits ini jika dipahami serampangan akan menimbulkan pemahaman yang keliru.
Wajibnya
mengikuti dalil, bukan perasaan
Ketika
dihadapkan pada suatu pilihan antara benar dan salah, seorang Muslim wajib
mengikuti dalil, bukan mengikuti perasaan. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu” (Qs. Muhammad: 33).
Ia
juga berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul
Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (Qs. At Taghabun:
12).
Allah Ta’ala juga
berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa:
59).
Ayat-ayat
ini menegaskan wajibnya kita sebagai hamba Allah untuk mengikuti dalil, yaitu
firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan:
“Allah Ta’ala memerintahkan
kaum mu’minin dengan suatu perkara yang membuat iman menjadi sempurna, dan bisa
mewujudkan kebahagiaan bagi mereka di dunia dan akhirat, yaitu: menaati Allah
dan menaati Rasul-Nya dalam perkara-perkara pokok agama maupun dalam perkara
cabangnya. Taat artinya menjalankan setiap apa yang diperintahkan dan menjauhi
segala apa yang dilarang sesuai dengan tuntunannya dengan penuh keikhlasan dan
pengikutan yang sempurna” (Taisir
Karimirrahman, 789).
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan, “sudah menjadi kewajiban bagi
setiap hamba dalam agamanya untuk mengikuti firman Allah Ta’ala dan
sabda Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam,
dan mengiktuti para Khulafa Ar Rasyidin yaitu para sahabat sepeninggal beliau,
dan juga mengikuti para tabi’in yang mengikuti mereka dengan ihsan” (Fathu Rabbil Bariyyah,
7).
Penjelasan
para ulama
Lalu
bagaimana dengan hadits di atas? Apakah menunjukkan bahwa perasaan itu bisa
menentukan benar dan salah? Kita lihat bagaimana para ulama menjelaskan
hadits ini.
Para
ulama menjelaskan bahwa hadits ini tidak berlaku pada semua orang dan
semua keadaan, melainkan sebagai berikut:
1. Berlaku bagi orang
yang shalih, bukan pelaku maksiat yang hatinya kotor
Orang
yang shalih, yang hatinya bersih dan masih di atas fitrah, akan resah dan
bimbang hatinya ketika berbuat dosa. Maka hadits ini berlaku bagi orang yang
demikian, sehingga ketika orang yang sifatnya demikian melakukan sesuatu yang
membuat hatinya resah dan bimbang, bisa jadi itu sebuah dosa.
Al
Munawi mengatakan:
(استفت
نفسك) المطمئنة الموهوبة نورا يفرق بين الحق والباطل والصدق والكذب إذ الخطاب
لوابصة وهو يتصف بذلك
“‘mintalah fatwa pada hatimu‘,
yaitu hati yang tenang dan hati yang dikaruniai cahaya, yang bisa membedakan
yang haq dan yang batil, yang benar dan yang dusta. Oleh karena itu disini Nabi
berbicara demikian kepada Wabishah yang memang memiliki sifat tersebut” (Faidhul Qadir, 1/495).
Wabishah
bin Ma’bad bin Malik bin ‘Ubaid Al-‘Asadi radhiallahu’anhu,
adalah seorang sahabat Nabi, generasi terbaik yang diridhai oleh Allah. Beliau
juga dikenal ahli ibadah dan sangat wara’. Maka layaklah Nabi bersabda ‘mintalah fatwa pada hatimu‘
kepada beliau.
Ibnu
Allan Asy Syafi’i mengatakan:
قال:
استفت قلبك) أي اطلب الفتوى منه، وفيه إيماء إلى بقاء قلب المخاطب على أصل صفاء
فطرته وعدم تدنسه بشىء من آفات الهوى الموقعة فيما لا يرضى، ثم بين نتيجة
الاستفتاء وأن فيه بيان ما سأل عنه
“Sabda
beliau ‘istafti qalbak‘,
maknanya: mintalah fatwa pada hatimu. Ini merupakan isyarat tentang keadaan
hati orang yang ajak bicara (Wabishah) bahwa hatinya masih suci di atas fitrah,
belum terkotori oleh hawa nafsu terhadap sesuatu yang tidak diridhai Allah,
lalu Nabi menjelaskan buah dari meminta fatwa dari hati yang demikian, dan
bahwasanya di sana ada jawaban dari apa yang ia tanyakan” (Dalilul Falihin, 5/34).
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
وهذا
فيمن نفسه مطمئنة راضية بشرع الله. وأما أهل الفسوق والفجور فإنهم لا يترددون في
الآثام، تجد الإنسان منهم يفعل المعصية منشرحاً بها صدره والعياذ بالله، لا
يبالي بذلك، لكن صاحبَ الخير الذي وُفق للبر هو الذي يتردد الشيء في نفسه، ولا
تطمئن إليه، ويحيك في صدره، فهذا هو الإثم
“Ini
berlaku bagi orang yang jiwanya baik dan ridha terhadap syariat Allah. Adapun
orang fasiq (yang gemar melanggar syariat Allah) dan fajir (ahli maksiat)
mereka tidak bimbang dalam melakukan dosa. Engkau temui sebagian orang ketika
melakukan maksiat mereka melakukannya dengan lapang dada, wal ‘iyyadzu billah. Maka ini tidak teranggap. Namun
yang dimaksud di sini adalah pecinta kebaikan yang diberi taufik dalam kebaikan
yang resah ketika melakukan kesalahan, hatinya tidak tenang, dan sesak dadanya,
maka ketika itu, itulah dosa”(Syarah Riyadish Shalihin, 3/498-499).
Maka
jika kita tahu bahwa diri kita masih sering melakukan maksiat, sering melanggar
ajaran Allah, sering meremehkan ajaran agama, sering ragu terhadap kebenaran
ajaran agama, jangan ikuti kata hati kita. Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin menjelaskan:
إذا
علمت أن في نفسك مرضاً من الوسواس والشك والتردد فيما أحل الله، فلا تلتفت لهذا،
والنبي عليه الصلاة والسلام إنما يخاطب الناس، أو يتكلم على الوجه الذي ليس فيه
أمراض، أي ليس في قلب صاحبه مرض
“Jika
engkau mengetahui bahwa hatimu itu penuh penyakit, berupa was-was, ragu, dan
bimbang terhadap apa yang Allah halalkan, maka jangan ikuti hatimu. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di sini berbicara kepada orang yang di
hatinya tidak ada penyakit hati”(Syarah Riyadish Shalihin, 3/499)
2. Berlaku bagi orang yang
memiliki ilmu agama
Orang
yang memiliki ilmu agama mengetahui yang halal dan yang haram. Mengetahui
batasan-batasan Allah. Mengetahui hak-hak Allah dan hak-hak hamba.
Maka dengan ilmu yang miliki tersebut tentu ia akan merasa tidak
tenang jika melakukan sesuatu yang melanggar ajaran agama. Berbeda dengan
orang yang jahil yang tidak paham agama, tidak paham hak-hak Allah dan hak-hak
hamba, ketika melakukan kesalahan dan dosa ia merasa biasa saja atau bahkan
merasa melakukan kebenaran.
Abul
Abbas Dhiyauddin Al Qurthubi mengatakan:
استفت
قلبك وإن أفتوك . لكن هذا إنما يصج ممن نوَّر الله قلبه بالعلم ، وزين جوارحه
بالورع ، بحيث يجد للشبهة أثرًا في قلبه . كما يحكى عن كثير من سلف هذه الأمَّة
“‘mintalah fatwa pada hatimu,
walaupun orang-orang memberimu fatwa‘. ini hanya berlaku bagi orang diberi
cahaya oleh Allah berupa ilmu (agama). Dan menghiasi raganya dengan sifat
wara’. Karena ketika ia menjumpai sebuah syubhat, itu akan mempengaruhi
hatinya. Demikianlah yang terjadi pada kebanyakan para salaf umat ini” (Al Mufhim limaa Asykala min
Talkhis Kitab Muslim, 14/114).
3. Berlaku pada perkara-perkara
syubhat, bukan perkara yang sudah jelas hukumnya
Sebagaimana
dijelaskan Abul Abbas Al Qurthubi di atas, hadits ini berlaku pada
perkara-perkara yang syubhat, yang belum diketahui pasti oleh seseorang antara
halal-haramnya, boleh-tidaknya. Bukan perkara-perkara yang sudah jelas
hukumnya.
Oleh
karena itu para ulama menggolongkan hadits ini sebagai hadits anjuran menjauhi
syubhat. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad menjelaskan,
قوله:
“والإثمُ ما حاك في نفسك وكرهت أن يطَّلع عليه الناس”، من الإثم ما يكون واضحاً
جليًّا، ومنه ما يحوك في الصدر ولا تطمئنُّ إليه النفس، ويكره الإنسانُ أن يطَّلع
عليه الناس؛ لأنَّه مِمَّا يُستحيا من فعله، فيخشى صاحبُه ألسنةَ الناس في نيلهم
منه، وهو شبيه بما جاء في الأحاديث الثلاثة الماضية: “فمَن اتَّقى الشبهات فقد
استبرأ لدينه وعرضه”، و “دع ما يريبُك إلى ما لا يريبك”، و “إنَّ مِمَّا أدرك
الناس من كلام النبوة الأولى إذا لم تستح فاصنع ما شئت”
“Sabda
Nabi: ‘Dan dosa adalah
yang membuat bimbang hatimu dan engkau tidak ingin diketahui oleh orang‘.
Ada dosa yang sudah jelas hukumnya. Ada pula dosa (yang tidak jelas) yang
membuat hati resah dan menyesakkan dada, dan ia tidak ingin diketahui
orang-orang karena ia malu melakukannya di depan orang-orang. Ia khawatir
orang-orang membicarakan perbuatannya tersebut. Maka ini semisal dengan
hadits-hadits yang dibahas sebelumnya, yaitu hadits:
فمَن
اتَّقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه
“barangsiapa yang menjauhkan
diri dari syubhat maka ia menyelamatkan agamanya dan kehormatannya”
Dan
hadits:
دع
ما يريبُك إلى ما لا يريبك
“tinggalkan yang meragukan
dan ambil yang tidak meragukan”
Dan
hadits;
إنَّ
مِمَّا أدرك الناس من كلام النبوة الأولى إذا لم تستح فاصنع ما شئت
“Diantara perkataan para Nabi
terdahulu yang diketahui manusia adalah: jika engkau tidak tahu malu maka
berbuatlah sesukamu” (Fathul Qawiyyil Matin, 1/93).
Maka
perkara-perkara seperti haramnya berbuat syirik, wajibnya memakai jilbab bagi
wanita, wajibnya shalat berjamaah, wajibnya puasa Ramadhan, haramnya memilih
pemimpin kafir, ini semua tidak semestinya seseorang meminta fatwa pada hatinya
karena sudah jelas hukumnya.
Wabillahi at taufiq was sadaad.
Sumber:https://muslim.or.id/29444-penjelasan-hadits-mintalah-fatwa-pada-hatimu, html,
No comments:
Post a Comment